JAKARTA – Kebijakan baru soal pungutan pajak penghasilan (PPh) 22 terhadap pedagang online menjadi sorotan publik.
Namun, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan bahwa kebijakan ini tidak akan berdampak pada kenaikan harga barang.
Dikutip dari Antara News pada 16 Juli 2025, Bimo menyatakan bahwa pungutan ini bukan merupakan pajak baru, melainkan bagian dari kewajiban pajak yang selama ini telah diperhitungkan dalam harga barang yang dijual oleh pedagang online, terutama yang menjual produk elektronik.
“Ini bukan pajak baru, tidak akan menaikkan harga,” tegas Bimo.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi hanya menyangkut mekanisme pemungutan dan pelaporan pajak, bukan besaran pajaknya.
Artinya, sistem pemungutan akan diperbarui agar lebih efisien dan transparan.
Kebijakan ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 11 Juni 2025 dan diundangkan pada 14 Juli 2025.
Dalam PMK tersebut disebutkan bahwa marketplace atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) ditunjuk sebagai pemungut PPh 22 dari pedagang online yang berjualan di platform mereka.
Besaran PPh 22 yang akan dipungut adalah 0,5 persen dari omzet bruto tahunan para pedagang.
Angka tersebut di luar pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) maupun pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Meski menuai pro dan kontra, pemerintah menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan di sektor perdagangan digital tanpa membebani konsumen maupun pedagang secara berlebihan.[]